Salaf, artinya adalah orang-orang
terdahulu. Adapun yang dimaksud dengan Salafush Shalih, dalam istilah
ulama adalah orang-orang terdahulu yang shalih, dari generasi sahabat
dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, dari generasi
tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan para ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
setelah mereka.
Salafush Shalih adalah generasi
terbaik umat Islam. Oleh karenanya, merupakan kewajiban bagi kita untuk
mengikuti pemahaman mereka dalam beragama. Sehingga berbagai macam
bid’ah, perpecahan dan kesesatan dapat dijauhi. Karena adanya berbagai
macam bid’ah, perpecahan, dan kesesatan tersebut, berawal dari
menyelisihi pemahaman Salafush Shalih. Menjadi keniscayaan, jika seluruh
umat Islam, dari yayasan atau organisasi atau lembaga apapun, wajib
mengikuti pemahaman Salafush Shalih dalam beragama.
Banyak dalil-dalil dari Al Qur’an
dan As Sunnah yang menunjukkan kewajiban mengikuti pemahaman Salafush
Shalih. Para ulama telah banyak menulis masalah besar ini di dalam
karya-karya mereka.
Imam Ibnul Qoyyim di dalam kitab
I’lamul Muwaqqi’in, menyebutkan 46 dalil tentang kewajiban mengikuti
sahabat [1]. Syaikh Salim Al Hilali menulis kitab yang sangat bernilai
tentang kewajiban mengikuti manhaj Salaf ini di dalam kitab beliau yang
berjudul Limadza Ikhtartu Manhaj As Salafi?, yang telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Iindonesia.
Sekedar untuk memudahkan
pemahaman bagi saudara-saudara seiman, secara ringkas kami ingin
menyampaikan sebagian dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban mengikuti
sahabat dalam beragama.
DALIL DARI AL QUR’AN
Allah berfirman dalam Al Qur’an:
DALIL DARI AL QUR’AN
Allah berfirman dalam Al Qur’an:
فَإِنْ ءَامَنُوا بِمِثْل
مَآءَامَنتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِن تَوَلَّوْ فَإِنَّمَا هُمْ فِي
شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Maka jika mereka beriman kepada
semisal apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah
mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada
dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari
mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [Al
Baqarah:137].
Nadhir bin Sa’id Alu Mubarak
berkata: “Allah Yang Maha Suci telah menjadikan keimanan, sebagaimana
keimanan sahabat dari seluruh sisi, sebagai tempat bergantung petunjuk
dan keselamatan dari maksiat dan memusuhi Allah. Maka, jika manusia
beriman dengan sifat ini, dan mengikuti teladan jalan sahabat, berarti
dia mendapatkan petunjuk menetapi kebenaran. Jika mereka berpaling dari
jalan dan pemahaman sahabat, maka mereka berada di dalam perpecahan,
permusuhan dan kemaksiatan kepada Allah dan RasulNya. Dan Allah Maha
mendengar terhadap pengakuan manusia, bahwa mereka beraqidah dan
bermanhaj Salafi, Dia mengetahui hakikat urusan mereka. Dan Allah Ta’ala
lebih mengetahui. [Diringkas dari kitab Al Mirqah Fii Nahjis Salaf
Sabilin Najah, hlm. 35-36].
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ
Kamu adalah umat yang terbaik
yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah
dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.. [Ali Imran:110].
Syaikh Salim Al Hilali berkata:
“Allah telah menetapkan keutamaan untuk para sahabat di atas seluruh
umat. Ini berarti, mereka istiqomah (berada di atas jalan lurus) dalam
segala keadaan; karena mereka tidak pernah menyimpang dari jalan yang
terang. Allah telah menyaksikan telah menjadi saksi untuk mereka, bahwa
mereka menyuruh kepada seluruh yang ma’ruf dan mencegah dari seluruh
yang munkar. Hal itu mengharuskan menunjukkan bahwa pemahaman mereka
merupakan argumen terhadap orang-orang setelah mereka”. [Limadza
Ikhtartu Manhajas Salafi, hlm. 86].
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن
بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ
الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَآءَتْ
مَصِيرًا
Dan barangsiapa menentang Rasul
sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalannya
orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang
telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan
Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali. [An Nisa’:115].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah berkata,”Sesungguhnya, keduanya itu (yaitu menentang Rasul
sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mu’min, Pen.) saling berkaitan. Semua orang yang menentang
Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, berarti dia mengikuti jalan yang
bukan jalannya orang-orang mu’min. Dan semua orang yang mengikuti jalan
yang bukan jalannya orang-orang mu’min, berarti dia menentang Rasul
sesudah jelas kebenaran baginya.” Lihat Majmu’ Fatawa (7/38)
Pada saat ayat ini turun, belum ada umat Islam selain mereka, kecuali para sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Merekalah orang-orang mu’min yang pertama-tama dimaksudkan ayat ini. Sehingga wajib bagi generasi setelah sahabat mengikuti jalan para sahabat Nabi.
Pada saat ayat ini turun, belum ada umat Islam selain mereka, kecuali para sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Merekalah orang-orang mu’min yang pertama-tama dimaksudkan ayat ini. Sehingga wajib bagi generasi setelah sahabat mengikuti jalan para sahabat Nabi.
وَالسَّابِقُونَ اْلأَوَّلُونَ
مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي
تَحْتَهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَآ أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ
الْعَظِيمُ
Orang-orang yang terdahulu lagi
yang pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin dan
Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha
kepada mereka dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. [At Taubah:100].
Lihatlah, Allah menyediakan
surga-surga bagi dua golongan. Pertama, golongan sahabat. Yaitu
orang-orang Muhajirin dan Anshar. Mereka adalah Salafush Shalih generasi
sahabat. Kedua, orang-orang yang mengikuti golongan pertama dengan
baik.
Jika demikian, maka seluruh umat
Islam, generasi setelah sahabat wajib mengikuti para sahabat dalam
beragama, sehingga meraih janji Allah di atas. Jika orang-orang Islam
yang datang setelah para sahabat enggan mengikuti jalan mereka, siapa
yang akan mereka ikuti? Jika bukan para sahabat, tentunya yang mereka
adalah Ahli Bid’ah!
Imam Ibnul Qoyim rahimahullah
berkata: “Sisi penunjukan dalil (wajibnya mengikuti sahabat), karena
sesungguhnya Allah Ta’ala memuji orang yang mengikuti mereka. Jika
seseorang mengatakan satu perkataan, lalu ada yang mengikutinya sebelum
mengetahui dalilnya, dia adalah orang yang mengikuti sahabat. Dia
menjadi terpuji dengan itu, dan berhak mendapatkan ridha (Allah),
walaupun dia mengikuti sahabat semata-mata dengan taqlid”. [2].
DALIL DARI AS SUNNAH
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
Sebaik-baik manusia adalah
generasiku (yaitu generasi sahabat), kemudian orang-orang yang
mengiringinya (yaitu generasi tabi’in), kemudian orang-orang yang
mengiringinya (yaitu generasi tabi’ut tabi’in). [Hadits mutawatir,
riwayat Bukhari dan lainnya].
Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah
berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan, sesungguhnya
sebaik-baik generasi adalah generasi Beliau secara mutlak. Itu
mengharuskan (untuk) mendahulukan mereka dalam seluruh masalah
(berkaitan dengan) masalah-masalah kebaikan”. [3].
Para sahabat adalah manusia
terbaik, karena mereka merupakan murid-murid Rasulullah n . Dibandingkan
dengan generasi-generasi sesudahnya, mereka lebih memahami Al Qur’an.
Mengapa? Karena mereka menghadiri turunnya Al Qur’an, mengetahui
sebab-sebab turunnya. Dan mereka, juga bertanya kepada Rasulullah n
tentang ayat yang sulit mereka fahami.
Al Qur’an juga turun untuk
menjawab pertanyaan mereka, memberikan jalan keluar problem yang mereka
hadapi, dan mengikuti kehidupan mereka yang umum maupun yang khusus.
Mereka juga sebagai orang-orang yang paling mengetahui bahasa Al Qur’an,
karena Al Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka. Dengan demikian,
mengikuti pemahaman mereka merupakan hujjah terhadap generasi
setelahnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ
وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ
مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِ
وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا
وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ
فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Aku wasiatkan kepada kamu untuk
bertaqwa kepada Allah; mendengar dan taat (kepada penguasa kaum
muslimin), walaupun (dia) seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya,
barangsiapa hidup setelahku, dia akan melihat perselisihan yang banyak.
Maka wajib bagi kamu berpegang kepada Sunnahku dan sunnah para khalifah
yang mendapatkan petunjuk dan lurus. Peganglah dan giggitlah dengan gigi
geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam agama), karena semua
perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat.
[HR Abu Dawud, no. 4607; Tirmidzi 2676; Ad Darimi; Ahmad, dan lainnya
dari Al ‘Irbadh bin Sariyah].
Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah
berkata: “Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan sunnah
(jalan, ajaran) para khalifah Beliau dengan Sunnahnya. Beliau
Shallallahu ‘alihi wa sallam memerintahkan untuk mengikuti sunnah para
khalifah, sebagaimana Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
untuk mengikuti Sunnahnya. Dalam memerintahkan hal itu, Beliau
bersungguh-sungguh, sampai-sampai memerintahkan agar menggigitnya dengan
gigi geraham. Dan ini berkaitan dengan yang para khalifah fatwakan dan
mereka sunnahkan (tetapkan) bagi umat, walaupun tidak datang keterangan
dari Nabi, namun hal itu dianggap sebagai sunnah Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Demikian juga dengan yang difatwakan oleh keseluruhan
mereka atau mayoritas mereka, atau sebagian mereka. Karena Beliau
mensyaratkan hal itu dengan yang menjadi ketetapan Al Khulafa’ur
Rasyidun. Dan telah diketahui, bahwa mereka tidaklah mensunnahkannya
ketika mereka menjadi kholifah pada waktu yang sama, dengan demikian
diketahui bahwa apa yang disunnahkan tiap-tiap seorang dari mereka pada
waktunya, maka itu termasuk sunnah Al-Khulafa’ Ar-Rosyidin”. [4].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ
تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي
عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً
وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا
عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
Sesungguhnya Bani Israil telah
berpecah-belah menjadi 72 agama. Dan sesungguhnya umatku akan
berpecah-belah menjadi 73 agama. Mereka semua di dalam neraka, kecuali
satu agama. Mereka bertanya:“Siapakah mereka, wahai Rasulullah?” Beliau
menjawab,“Siapa saja yang mengikutiku dan (mengikuti) sahabatku.” [5].
Ketika menjelaskan hubungan
hadits ke-3 dengan hadits ke-2 ini, Syaikh Salim Al Hilali
berkata,”Barangsiapa yang memperhatikan dua hadits itu, ia pasti
mendapatkan keduanya membicarakan tentang satu masalah. Dan solusinya
sama, yaitu jalan keselamatan, kekuatan kehidupan, ketika umat (Islam)
menjadi jalan yang berbeda-beda, maka pemahaman yang haq adalah apa yang
ada pada Nabi n dan para sahabat beliau Radhiyallahu ‘anhum“[6]
DIANTARA PERKATAAN SAHABAT DAN ULAMA ISLAM
1. Abdullah bin Masud Radhiyallahu ‘anhu. Dia membantah orang-orang yang menanti shalat dengan membuat halaqah-halaqah (kumpulan orang-orang yang duduk melingkar) untuk berdzikir bersama-sama dengan menggunakan kerikil dan dipimpin satu orang dari mereka.
1. Abdullah bin Masud Radhiyallahu ‘anhu. Dia membantah orang-orang yang menanti shalat dengan membuat halaqah-halaqah (kumpulan orang-orang yang duduk melingkar) untuk berdzikir bersama-sama dengan menggunakan kerikil dan dipimpin satu orang dari mereka.
Abdullah bin Masud Radhiyallahu ‘anhu mengatakan:
وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ
مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ هَؤُلَاءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَوَافِرُونَ وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ
وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى
مِلَّةٍ هِيَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ أَوْ مُفْتَتِحُو بَابِ
ضَلَالَةٍ
Celaka kamu, wahai umat Muhammad.
Alangkah cepatnya kebinasaan kamu! Mereka ini, para sahabat Rasulullah
masih banyak, ini pakaian-pakaian Beliau belum usang, dan bejana-bejana
Beliau belum pecah. Demi Allah Yang jiwaku di tanganNya, sesungguhnya
kamu berada di atas suatu agama yang lebih benar daripada agama
Muhammad, atau kamu adalah orang-orang yang membuka pintu kesesatan. [HR
Darimi, dishahihkan oleh Syaikh Salim Al Hilali dalam Al Bid’ah Wa
Atsaruha As Sayi’ Fil Ummah, hlm. 44].
Syaikh Salim Al Hilali berkata:
Abdullah bin Mas’ud telah berhujjah terhadap calon-calon Khawarij dengan
adanya para sahabat Rasulullah diantara mereka. Dan sesungguhnya para
sahabat tidak melakukan perbuatan mereka. Maka jika perbuatan mereka
calon-calon Khawarij itu baik -sebagaimana anggapan mereka- pasti para
sahabat Nabi n telah mendahului melakukannya. Maka, ketika para sahabat
tidak melakukannya, berarti itu adalah kesesatan. Seandainya manhaj
(jalan) sahabat bukanlah hujjah atas orang-orang setelah para sahabat,
tentulah mereka (orang-orang yang berhalaqoh itu) mengatakan kepada
Abdulloh bin Mas’ud: “Kamu laki-laki, kamipun laki-laki!” [Limadza, hal:
100]
Abdullah bin Mas’ud juga pernah
berkata: “Sesungguhnya kami meneladani, kami tidak memulai. Kami
mengikuti (ittiba’), kami tidak membuat bid’ah. Kami tidak akan sesat
selama berpegang kepada atsar (riwayat dari Nabi dan sahabatnya, Pen.)”.
[7]
2. Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhu, berkata kepada orang-orang Khawarij:
أَتَيْتُكُمْ مِنْ عِنْدِ
أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُهَاجِرِينَ
وَاْلأَنصَارِ وَ مِنْ عِنْدِ ابْنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَ صِهْرِهِ وَعَلَيِهِمْ نَزَلَ الْقُرْآنُ, فَهُمْ أَعْلَمُ
بِتَأْوِيْلِهِ مِنْكُمْ, وَ لَيْسَ فِيْكُمْ مِنْهُمْ أَحَدٌ
Aku datang kepada kamu dari
sahabat-sahabat Nabi, orang-orang Muhajirin dan Anshar, dan dari anak
paman Nabi dan menantu Beliau (yakni Ali bin Abi Thalib). Al Qur’an
turun kepada mereka, maka mereka lebih mengetahui tafsirnya daripada
engkau. Sedangkan diantara kalian tidak ada seorangpun (yang termasuk)
dari sahabat Nabi. [Riwayat Abdurrazaq di dalam Al Mushonnaf, no. 18678,
dan lain-lain. Lihat Limadza, hlm. 101-102; Munazharat Aimmatis Salaf,
hlm. 95-100. Keduanya karya Syaikh Salim Al Hilali].
3. Abul ‘Aliyah rahimahullah, ia berkata:
تَعَلَّمُوْا اْلإِسْلاَمَ فَإِذَا
تَعَلَّمْتُمُوْهُ فَلاَ تَرْغَبُوْا عَنْهُ وَ عَلَيْكُمْ بِالصِّرَاطِ
الْمُسْتَقِيمِ فَإِنَّهُ اْلإِسْلاَمُ وَلاَ تُحَرِّفُوْا اْلإِسْلاَمَ
يَمِْينًا وَلاَ شِمَالاً وَعَلَيْكُمْ بِسُنَّةِ نَبِيِّكُمْ وَالَّذِيْ
عَلَيْهِ أَصْحَابُهُ. وَ إِيَّاكُمْ وَهَذِهِ الْأَهْوَاءَ الَّتِيْ
تُلْقِي بَيْنَ النَّاسِ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَآءَ
Pelajarilah Islam! Jika engkau
mempelajarinya, janganlah kamu membencinya. Hendaklah engkau meniti
shirathal mustaqim (jalan yang lurus), yaitu Islam. Janganlah engkau
belokkan Islam ke kanan atau ke kiri. Dan hendaklah engkau mengikuti
Sunnah Nabimu dan yang dilakukan oleh para sahabatnya. Dan jauhilah hawa
nafsu-hawa nafsu ini (yakni bid’ah-bid’ah) yang menimbulkan permusuhan
dan kebencian antar manusia. [Al Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis
Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 34, no. 5].
4. Muhammad bin Sirin rahimahullah, ia berkata:
كَانُوْا يَرَوْنَ أَنَّهُمْ عَلَى الطَّرِيْقِ مَا كَانُوْا عَلَى الْأَثَرِ
Orang-orang dahulu mengatakan,
sesungguhnya mereka (berada) di atas jalan (yang lurus) selama mereka
meniti atsar (riwayat Salafush Shalih). [Al Muntaqa Min Syarh Ushulil
I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 42, no. 36].
5. Al Auza’i rahimahullah, ia berkata:
اِصْبِرْ نَفْسَكَ عَلَى
السُّنَّةِ , وَقِفْ حَيْثُ وَقَفَ الْقَوْمُ , وَقُلْ بِمَا قَالُوْا
وَكُفَّ عَمَّا كَفُّوْا عَنْهُ , وَاسْلُكْ سَبِيْلَ سَلَفِكَ الصَالِحِ
فَإِنَّهُ يَسَعُكَ مَا وَسَعَهُمْ
Sabarkanlah dirimu (berada) di
atas Sunnah. Berhentilah di tempat orang-orang itu (Ahlus Sunnah,
Salafush Shalih) berhenti. Katakanlah apa yang mereka katakan. Diamlah
apa yang mereka diam. Dan tempuhlah jalan Salaf (para pendahulu)mu yang
shalih, karena sesungguhnya akan melonggarkanmu apa yang telah
melonggarkan mereka. [Al Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah
Wal Jama’ah, hlm. 56; Al Ajuri di dalam Asy Syari’ah, hlm. 58; Limadza,
hlm. 104].
Dalam membantah bid’ah, Al Auza’i
rahimahullah juga menyatakan: Seandainya bid’ah ini baik, pasti tidak
dikhususkan kepada engkau tanpa (didahului) orang-orang sebelummu.
Karena sesungguhnya, tidaklah ada kebaikan apapun yang disimpan untukmu
karena keutamaan yang ada pada kamu tanpa (keutamaan) mereka (Salafus
Shalih). Karena mereka adalah sahabat-sahabat NabiNya, yang Allah telah
memilih mereka. Dia mengutus NabiNya di kalangan mereka. Dan Dia
mensifati mereka dengan firmanNya.
مُّحَمَّدُُ رَّسُولُ اللهِ
وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّآءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ
تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّنَ اللهِ وَرِضْوَانًا
Muhammad itu adalah utusan Allah
dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang
kafir, tetapi berkasih-sayang sesama mereka; kamu lihat mereka ruku’ dan
sujud mencari karunia Allah dan keridhaanNya. [Al Fath: 29] [8].
6. Imam Abu Hanifah rahimahullah, berkata:
آخُذُ بِكِتَابِ اللهِ, فَمَا لَمْ
أَجِدْ فَسُّنَّةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ,
فَإِنْ لَمْ أَجِدْ فِي كِتَابِ اللهِ وَلاَ سُّنَّةِ رَسُولِهِ آخُذُ
بِقَوْلِ أَصْحَابِهِ, آخُذُ بِقَوْلِ مَنْ شِئْتُ مِنْهُمْ وَأَدَعُ
قَوْلَ مَنْ شِئْتُ, وَلاَ أَخْرُجُ مِنْ قَوْلِهِمْ إِلَى قَوْلِ
غَيْرِهِمْ
Aku berpegang kepada Kitab Allah.
Kemudian apa yang tidak aku dapati (di dalam Kitab Allah, maka aku
berpegang) kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika
aku tidak dapati di dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah, aku
berpegang kepada perkataan-perkataan para sahabat beliau.Aku akan
berpegang kepada perkataan orang yang aku kehendaki. Dan aku tinggalkan
perkataan orang yang aku kehendaki diantara mereka. Dan aku tidak akan
keluar dari perkataan mereka kepada perkataan selain mereka. [Riwayat
Ibnu Ma’in dalam Tarikh-nya, no. 4219. Dinukil dari Manhaj As Salafi
‘Inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, hlm. 36, karya ‘Amr Abdul Mun’im
Salim].
7. Imam Malik bin Anas rahimahullah.
Imam Ibnul Qoyyim menyatakan, bahwa Imam Malik t berdalil dengan ayat 100, surat At Taubah, tentang kewajiban mengikuti sahabat. [9]
Imam Ibnul Qoyyim menyatakan, bahwa Imam Malik t berdalil dengan ayat 100, surat At Taubah, tentang kewajiban mengikuti sahabat. [9]
8. Imam Syafi’i rahimahullah, berkata:
مَا كَانَ الْكِتَابُ أَوِ
السُّنَّةُ مَوْجُوْدَيْنِ , فَالْعُذْرُ عَلَى مَنْ سَمِعَهُمَا
مَقْطُوْعٌ إِلاَّ بِاتِّبَاعِهِمَا, فَإِذَا لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ صِرْنَا
إَلَى أَقَاوِيْلِ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَوْ وَحِدٍ مِنْهُمْ
Selama ada Al Kitab dan As
Sunnah, maka alasan terputus atas siapa saja yang telah mendengarnya,
kecuali dengan mengikuti keduanya. Jika hal itu tidak ada, kita kembali
kepada perkataan-perkataan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, atau salah satu dari mereka. [10].
9. Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah, ia berkata:
عَلَى أُصُوْلُ السُّنَّةِ
عِنْدَنَا: التَّمَسُّكُ بِمَا كَانَ عَلَيْهِ أَصْحَابُ رَّسُولِ اللهِ
وَالْإِقْتِدَاءُ بِهِمْ , وَ تَرْكُ الْبِدَعِ, وَ كُلُّ بِدْعّةٍ
ضَلاَلَةٍ…
Pokok-pokok Sunnah menurut kami
adalah: berpegang kepada apa yang para sahabat Rasulullah n berada di
atasnya, meneladani mereka, meninggalkan seluruh bid’ah. Dan seluruh
bid’ah merupakan kesesatan … [Riwayat Al Lalikai; Al Muntaqa Min Syarh
Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 57-58].
Demikianlah penjelasan singkat
mengenai kewajiban yang harus ditempuh oleh kaum Muslimin. Bahwa meniti
jalan Salafush Shalih merupakan kebenaran. Sehingga jalan-jalan lainnya
merupakan kesesatan. Bukankah selain kebenaran kecuali kesesatan?
Mudah-mudahan Allah selalu
membimbing kita di atas jalanNya yang lurus, mengikuti Al Kitab, As
Sunnah sesuai dengan pemahaman salaful ummah.
[Disalin dari majalah As-Sunnah
Edisi 06/Tahun VIII/1425H/2004M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. I’lamul Muwaqqi’in (2/388-409), Penerbit Darul Hadits, Kairo, Th. 1422H/2002M
[2]. I’lamul Muwaqqi’in (2/388), Penerbit: Darul Hadits, Kairo, Th. 1422 H/2002M.
[3]. I’lamul Muwaqqi’in (2/398), Penerbit Darul Hadits, Kairo, Th. 1422 H / 2002M.
[4]. I’lamul Muwaqqi’in (2/400-401), Penerbit Darul Hadits, Kairo, Th. 1422 H / 2002M.
[5]. Tirmidzi, no. 2565; Al Hakim, Ibnu Wadhdhah, dan lainnya; dari Abdullah bin’Amr. Dihasankan oleh Syaikh Salim Al Hilali di dalam Nash-hul Ummah, hlm. 24.
[6]. Limadza, hlm. 76.
[7]. Al Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 42, no. 35.
[8]. Al Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 56-57
[9]. I’lamul Muwaqqi’in (2/388), karya Ibnul Qoyyim
[10]. Riwayat Baihaqi di dalam Al Madkhal Ilas Sunan Al Kubra, no. 35. Dinukil dari Manhaj As Salafi ‘Inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, hlm. 36 dan Manhaj Imam Asy Syafi’i Fi Itsbatil Aqidah (1/129), karya Syaikh Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab Al ‘Aqil.
_______
Footnote
[1]. I’lamul Muwaqqi’in (2/388-409), Penerbit Darul Hadits, Kairo, Th. 1422H/2002M
[2]. I’lamul Muwaqqi’in (2/388), Penerbit: Darul Hadits, Kairo, Th. 1422 H/2002M.
[3]. I’lamul Muwaqqi’in (2/398), Penerbit Darul Hadits, Kairo, Th. 1422 H / 2002M.
[4]. I’lamul Muwaqqi’in (2/400-401), Penerbit Darul Hadits, Kairo, Th. 1422 H / 2002M.
[5]. Tirmidzi, no. 2565; Al Hakim, Ibnu Wadhdhah, dan lainnya; dari Abdullah bin’Amr. Dihasankan oleh Syaikh Salim Al Hilali di dalam Nash-hul Ummah, hlm. 24.
[6]. Limadza, hlm. 76.
[7]. Al Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 42, no. 35.
[8]. Al Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 56-57
[9]. I’lamul Muwaqqi’in (2/388), karya Ibnul Qoyyim
[10]. Riwayat Baihaqi di dalam Al Madkhal Ilas Sunan Al Kubra, no. 35. Dinukil dari Manhaj As Salafi ‘Inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, hlm. 36 dan Manhaj Imam Asy Syafi’i Fi Itsbatil Aqidah (1/129), karya Syaikh Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab Al ‘Aqil.
0 komentar:
Posting Komentar