Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia
berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ
“Islam muncul dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang terasingkan itu.” (HR. Muslim no. 208)
Islam datang dengan dicemooh dengan ajaran
tauhidnya, maka pada ahirnya ajaran yang demikian juga akan menjadi asing pula.
Tidak terhitung berapa banyak kaum muslimin di berbagai
tempat mendapat perlakuan biadab dari orang kafir. Di Suriah, Rohingya, Ambon,
Poso, Pattani, checnya, Afghanistan, Uigur. Apa karena tidak toleransi pemyebabnya?
Bukan itu,
justru karena terlenanya dengan kata yang
membawa penyakit yaitu toleransi sehingga kaum muslimin leluasa dibantai.
Kemana PBB, kemana organisasi perdamaian dunia lainnya? Yang mereka sering teriak memerangi kejahatan?
Di saat bersamaan, Ulama-ulama Suu’ (Jahat),
yang begitu cinta dunia, amplop dan ketenaran, yang takut mati, takut
ditinggalkan jamaah dan dikurung,semakin menjauhkan kaum muslimin dari
kekuatan. Mereka menyelewengkan makna dan menafsirkan Jihad dengan sesuka
nafsunya.
Mereka katakan jihad dalam makna sebenarnya
adalah memerangi hawa nafsu, kerja juga jihad,mencari nafkah jihad.Sungguh jika
orang yang berjihad itu mujahidin maka setiap pencari nafkah itu mujahidin dan
ketika mati maka sebutannya adalah syuhada?
“Bila kalian berjual beli ‘inah, dan kalian
mengikuti ekor-ekor kerbau, dan kalian rela dengan pertanian serta kalian
meninggalkan jihad; maka Allah kuasakan terhadap kalian kehinaan yang tidak
diangkat-Nya sampai kalian kembali kepada dien kalian.” (HR. Abu Dawud)
Dan dari Abu Bakar Ash Shiddiq radliyallahu
‘anhu berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata:
مَا تَرَكَ قَوْمٌ الْجِهَادَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ أَذَلَّهُمُ
اللهُ وَمَا تَرَكَ قَوْمٌ الأَمْرَ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْي عَنِ الْمُنْكَرِ
إِلاَّ عَمَّهُمُ اللهُ بِعِقَابٍ.
“Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di
jalan Allah, melainkan Allah pasti menghinakan mereka, dan tidaklah suatu kaum
meninggalkan amar ma’ruf dan nahi munkar, melainkan Allah pasti meratakan
siksa-Nya kepada mereka.” (HR. Said Ibnu Mansur)
Maka lihatlah bahwa obat penawar dari
penyakit-penyakit ini adalah jihad. Jihad dengan makna sebenanrnya. Jihad yang
sesuai istilah syar’inya. Bukan dimaknai secara lughowi saja. Maka arti sebenarnya adalah mengikut pada arti
syar’inya bukan pada lughowinya.
Sedang pengertian
lughowinya adalah Jihad berasal dari kata Al Jahd (ُالجَهْد)
dengan difathahkan huruf jimnya yang bermakna kelelahan dan kesusahan atau dari
Al Juhd (الجُهْدُ) dengan didhommahkan huruf jimnya yang bermakna kemampuan. Kalimat (بَلَغَ جُهْدَهُ)
bermakna mengeluarkan kemampuannya.
Barangsiapa mengklaim bahwa perubahan
kemungkaran dan pengukuhan kebenaran serta pelenyapan kedlaliman itu bisa
terbukti dengan seruan damai tanpa perang dan penumpaham darah, maka dia telah
mengklaim bahwa dirinya lebih mengetahui dan lebih santun dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan bahwa tuntunannya lebih utama dari tuntunan beliau.
Mana mungkin Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam seperti itu. Barangsiapa mengatakan bahwa agama Allah ini
berdiri dengan seruan-seruan damai, maka berarti dia telah mencampakkan begitu
saja Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam serta
mengikuti hawa nafsunya.
Allah Ta’ala berfirman:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ
لَكُمْ
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal
berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci.” (Al Baqarah: 216)
Dan berfirman:
فَإِذَا انْسَلَخَ الأشْهُرُ الْحُرُمُ
فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ وَاحْصُرُوهُمْ
وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ
“Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu,
Maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan
tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian.” (At
Taubah: 5)
Dan berfirman:
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لا تَكُونَ فِتْنَةٌ
وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ بِمَا
يَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (٣٩)
“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada
fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah” (Al Anfal: 39)
Dan berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قَاتِلُوا
الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ وَلْيَجِدُوا فِيكُمْ غِلْظَةً
“Hai orang-orang yang beriman, perangilah
orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui
kekerasan daripadamu,” (At Taubah: 123)
Dan berfirman:
فَقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ لا تُكَلَّفُ
إِلا نَفْسَكَ وَحَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ
“Maka berperanglah kamu pada jalan Allah,
tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Kobarkanlah
semangat orang-orang mukmin (untuk berperang).” (An Nisa: 84)
Dan berfirman:
قَاتِلُوهُمْ يُعَذِّبْهُمُ اللَّهُ
بِأَيْدِيكُمْ وَيُخْزِهِمْ وَيَنْصُرْكُمْ عَلَيْهِمْ وَيَشْفِ صُدُورَ قَوْمٍ
مُؤْمِنِينَ (١٤)
“Perangilah mereka, niscaya Allah akan
menghancurkan mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan
menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati
orang-orang yang beriman.” (At Taubah: 14)
Dan berfirman:
قَاتِلُوا الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَلا بِالْيَوْمِ الآخِرِ وَلا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلا
يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا
الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ (٢٩)
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman
kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak
mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama
dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan
Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang
mereka dalam Keadaan tunduk.” (At Taubah: 29)
Dan berfirman:
فَلْيُقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ
يَشْرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا بِالآخِرَةِ
“karena itu hendaklah orang-orang yang
menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat berperang di jalan Allah.” (An
Nisa: 74)
Dan berfirman:
فَقَاتِلُوا أَوْلِيَاءَ الشَّيْطَانِ إِنَّ
كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا (٧٦)
“Sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan
itu, karena sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah.” (An Nisa: 76)
Dan berfirman:
فَإِذا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا فَضَرْبَ
الرِّقَابِ
“Apabila kamu bertemu dengan orang-orang
kafir (di medan perang) naka pancunglah batang leher mereka.” (Muhammad: 4)
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
أُمِرْتُ أن أقاتِل الناسَ حتى يَشهدُوا أن لا
إله إلا الله ، وأنَّ محمداً رسولُ الله ، ويقيموا الصلاةَ ، ويُؤتوا الزكاةَ
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia
sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadati selain Allah
dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, mereka mendirikan shalat dan menunaikan
zakat.” (Muttafaq ‘alaih)
Dan berkata:
”بُعِثْتُ
بَيْنَ يَدَيْ السَّاعَةِ بِالسَّيْفِ حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا
شَرِيكَ لَهُ ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي “
“Aku diutus sebelum hari kiamat dengan pedang
agar Allah sajalah yang diibadati tidak ada sekutu bagi-Nya, dan dijadikan
rizkiku di bawah bayangan tombakku.” (HR. Abu Dawud)
Dan bersabda:
وَالَّذِي
نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوَدِدْتُ أَنْ أَغْزُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
فَأُقْتَلَ ثُمَّ أَغْزُوَ فَأُقْتَلَ ثُمَّ أَغْزُوَ فَأُقْتَلَ
“Demi Dzat Yang jiwaku ada di Tangan-Nya
ingin sekali aku berperang fi sabilillah terus aku terbunuh, kemudian aku
berperang terus aka terbunuh, kemudian aku berperang terus aku terbunuh.” (HR. Ibnu
Majah, No 2743).
Dan bersabda:
“
مَنْ قَاتَلَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فُوَاقَ نَاقَةٍ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ “
“Barangsiapa berperang di jalan Allah walau
selama satu perahan unta, maka sudah dipastikan surga baginya.” (HR.
Tirmidzi, Abu Dawud, An Nasai)
Dan bersabda:
لاَ
يَجْتَمِعُ كَافِرٌ وَقَاتِلُهُ فِى النَّارِ أَبَدًا
“Tidak akan berkumpul orang kafir dengan
orang yang membunuhnya di dalam api neraka selamanya.” (HR.
Muslim)
Dan bersabda:
يَضْحَكُ اللَّهُ من رَجُلَيْنِ ؛ يَقْتُلُ
أَحَدُهُمَا الْآخَرَ ؛ كِلَاهُمَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ: يُقَاتِلُ هٰذَا فِي
سَبِيْلِ اللهِ فيُقتل ثُمَّ يَتُوْبُ اللهُ عَلَى الْقَاتِلِ فَيَسْتَشْهِدُ
“Allah tertawa dari sebab dua pria yang mana
salah satunya membunuh yang lainnya, keduanya masuk surga: Yang ini berperang
di jalan Allah sampai terbunuh, kemudian yang membunuh itu bertaubat kepada
Allah terus dia mati syahid.” (Muttafaq ‘alaih)
Dan berkata shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“
إِنَّ أَبْوَابَ الْجَنَّةِ تَحْتَ ظِلَالِ السُّيُوفِ”
“Sesungguhnya pintu-pintu surga itu di bawah
naungan pedang.” (HR. Muslim)
Dan berkata:
“
اغْزُوا بِاسْمِ اللَّهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ “
“Berperanglah dengan Nama Allah dan di jalan
Allah, perangilah orang yang kafir kepada Allah.” (HR. Ahmad)
Ini adalah perintah Allah Tabaraka wa
Ta’ala, dan ini adalah tuntunan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam,
namun setelah ini semuanya malah muncul di hadapan kita para fuqaha resmi dan
para du’at yang mencari damai yang mengharamkan jihad dan menganggap jahat para
Mujahidin, maka dari mana fiqh semacam ini? Fiqh kehinaan, ketundukan, perendahan
diri dan kenistaan yaitu fiqh jalan damai, siapa pendahulu mereka dari kalangan
salaf dalam hal ini, dari agama apa mereka datang kepada kita dengan membawa
jalan damai ini? Jalan damai itu agama siapa?
Mari perhatikan makna jihad menurut para ulama...
Para ulama
tafsir,para fikih, ushul, dan hadits mendefinisikan jihad dengan makna
berperang di jalan Allah dan semua hal yang berhubungan dengannya. Sebab,
mereka memahami, bahwa kata jihad memiliki makna syar’iy, dimana, makna ini
harus diutamakan di atas makna-makna yang lain (makna lughawiy dan ‘urfiy).
Madzhab Hanafi
Menurut mazhab
Hanafi, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab Badaa’i’ as-Shanaa’i’, “Secara
literal, jihad adalah ungkapan tentang pengerahan seluruh kemampuan… sedangkan
menurut pengertian syariat, jihad bermakna pengerahan seluruh kemampuan dan
tenaga dalam berperang di jalan Allah, baik dengan jiwa, harta, lisan ataupun
yang lain.
Madzhab Maliki
Adapun definisi
jihad menurut mazhab Maaliki, seperti yang termaktub di dalam kitab Munah
al-Jaliil, adalah perangnya seorang Muslim melawan orang Kafir yang tidak
mempunyai perjanjian, dalam rangka menjunjung tinggi kalimat Allah Swt. atau
kehadirannya di sana (yaitu berperang), atau dia memasuki wilayahnya (yaitu,
tanah kaum Kafir) untuk berperang. Demikian yang dikatakan oleh Ibn ‘Arafah.
Madzhab as Syaafi’i
Madzhab
as-Syaafi’i, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab al-Iqnaa’,
mendefinisikan jihad dengan “berperang di jalan Allah”. Al-Siraazi juga
menegaskan dalam kitab al-Muhadzdzab; sesungguhnya jihad itu adalah
perang.
Madzhab Hanbali
Sedangkan
madzhab Hanbali, seperti yang dituturkan di dalam kitab al-Mughniy, karya
Ibn Qudaamah, menyatakan, bahwa jihad yang dibahas dalam kitaab al-Jihaad tidak
memiliki makna lain selain yang berhubungan dengan peperangan, atau berperang
melawan kaum Kafir, baik fardlu kifayah maupun fardlu ain, ataupun dalam bentuk
sikap berjaga-jaga kaum Mukmin terhadap musuh, menjaga perbatasan dan celah-celah
wilayah Islam.
Dalam masalah
ini, Ibnu Qudamah berkata: Ribaath (menjaga perbatasan) merupakan pangkal
dan cabang jihad. Beliau juga mengatakan: Jika musuh datang, maka jihad
menjadi fardlu ‘ain bagi mereka… jika hal ini memang benar-benar telah
ditetapkan, maka mereka tidak boleh meninggalkan (wilayah mereka) kecuali atas
seizin pemimpin (mereka). Sebab, urusan peperangan telah diserahkan kepadanya.
Abu Ishaq
Menurut Abu
Ishaq, kata jihaad adalah mashdar dari kata jaahada, jihaadan, wa
mujaahadatan. Sedangkan mujaahid adalah orang yang bersungguh-sungguh
dalam memerangi musuhnya, sesuai dengan kemampuan dan tenaganya. Secara
syar’iy, jihaad bermakna qathlu al-kufaar khaashshatan (memerangi kaum
kafir pada khususnya).
Al Bahuuthiy
Al-Bahuuthiy
dalam kitab al-Raudl al-Marba’, menyatakan; secara literal, jihaad merupakan
bentuk mashdar dari kata jaahada (bersungguh-sungguh) di dalam memerangi
musuhnya. Secara syar’iy, jihaad bermakna qitaal al-kufaar (memerangi
kaum kafir).
Al Dimyathiy
Al-Dimyathiy di
dalam I’aanat al-Thaalibin menyatakan, bahwa jihaad bermakna al-qithaal
fi sabiilillah; dan berasal dari kata al-mujaahadah. Imam Sarbiniy,
di dalam kitab al-Iqnaa’ menyatakan, bahwa jihaad bermakna al-qithaal
fi sabiilillah wa ma yata’allaqu bi ba’dl ahkaamihi (berperang di jalan
Allah dan semua hal yang berhubungan dengan hukum-hukumnya).
Di dalam kitab Durr
al-Mukhtaar, dinyatakan; jihaad secara literal adalah mashdar dari
kata jaahada fi sabilillah (bersungguh-sungguh di jalan Allah). Adapun
secara syar’iy, jihaad bermakna al-du’aa` ila al-diin al-haqq wa
qataala man lam yuqabbiluhu (seruan menuju agama haq (Islam) dan memerangi
orang yang tidak mau menerimanya). Sedangkan Ibnu Kamal mendefinisikan jihaad
dengan badzlu al-wus’iy fi al-qitaal fi sabiilillah mubasyaratan au
mu’awanatan bi maal au ra’y au taktsiir yakhlu dzaalik (mencurahkan segenap
tenaga di dalam perang di jalan Allah baik secara langsung atau memberikan
bantuan yang berujud pendapat, harta, maupun akomodasi perang.
Imam ‘Ilaa’ al-Diin al-Kaasaaniy
Imam ‘Ilaa’ al-Diin
al-Kaasaaniy, dalam kitab Badaai’ al-Shanaai’, menyatakan; secara
literal, jihaad bermakna badzlu al-juhdi (dengan jim didlammah; yang
artinya al-wus’u wa al-thaaqah (usaha dan tenaga) mencurahkan segenap usaha
dan tenaga); atau ia adalah bentuk mubalaghah (hiperbolis)
dari tenaga yang dicurahkan dalam suatu pekerjaan. Sedangkan menurut ‘uruf
syara’ , kata jihaad digunakan untuk menggambarkan pencurahan usaha dan
tenaga dalam perang di jalan Allah swt, baik dengan jiwa, harta, lisan
(pendapat).
Abu al-Hasan al-Malikiy
Abu al-Hasan
al-Malikiy, dalam buku Kifaayat al-Thaalib, menuturkan; menurut
pengertian bahasa, jihaad diambil dari kata al-jahd yang bermakna al-ta’ab
wa al-masyaqqah (kesukaran dan kesulitan). Sedangkan menurut istilah,
jihaad adalah berperangnya seorang Muslim yang bertujuan untuk meninggikan
kalimat Allah, atau hadir untuk memenuhi panggilan jihaad, atau terjun di
tempat jihaad; dan ia memiliki sejumlah kewajiban yang wajib dipenuhi, yakni
taat kepada imam, meninggalkan ghulul, menjaga keamanan, teguh dan tidak
melarikan diri.
Imam Zarqaniy
Imam Zarqaniy,
di dalam kitab Syarah al-Zarqaniy menyatakan; makna asal dari kata jihaad
(dengan huruf jim dikasrah) adalah al-masyaqqah (kesulitan).
Jika dinyatakan jahadtu jihaadan, artinya adalah balaghtu
al-masyaqqah (saya telah sampai pada taraf kesulitan). Sedangkan menurut
pengertian syar’iy, jihaad bermakna badzlu al-juhdi fi qitaal
al-kufaar (mencurahkan tenaga untuk memerangi kaum kufar).
Banyak ayat di dalam
Al-qur’an seakan menjadi lenyap dihadapan orang karena terbius virus toleransi yang
tidak jelas dari arah mana datangnya. Dan mencela habis-habisan jihad seakan itu perbuatan terkutuk yang
bukan dating dari islam.
Jika jihad itu bukan
perang, mana mungkin Rasulullah dan para sahabat memobilisasi kaum muslimin untuk bertempur.
Dan mana mungkin akan
ada peristiwa perang Badr. Khondaq, Uhud dll. Akan dikemanakan ayat dan sejarah
itu wahai kaum yang mengaku beriman tapi takut kematian dan hilang sumber
penghasilan?
Oleh karena itu wahai saudaraku , cintailah amalan tertinggi
ini,puncaknya amalan yaitu jihad dan jangan pernah pedulikan orang-orang yang
suka mencela apa itu jihad.
Hai
orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya,
maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan
mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang
Mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan
Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah
karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha
Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui (QS al-Maidah [5]: 54)
Dari Mu‘adz bin Jabal
ra ia berkata: Kami bersama Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam di perang Tabuk, beliau bersabda, “Jika engkau
mau, aku beritahukan tentang pokok urusan, tiang dan puncaknya.” Aku
mengatakan, “Mau Wahai Rosululloh.” Beliau bersabda, “Adapun pokok urusan adalah
Islam, tiangnya adalah sholat dan puncaknya adalah jihad.” (HR. Hakim dengan
lafadz ini secara ringkas, ia mengatakan: shohih menurut syarat Bukhori Muslim;
Ahmad juga meriwayatkannya dengan redaksi panjang. demikian juga Tirmizin dan
ia menshohihkannya, An-Nasa’I, Ibnu Majah dan lain-lain).
Hidupkanlah sunnah yang telah dimatikan ini, yaitu sunnah menjaga
kemuliaan islam dengan jihad. Dan bersabar akan celaan para pencelanya. Yang
lebih memilih bertawali kepada orang kafir.
Dan juga telah shahih
dari Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam hadits Abu Tsa’labah Al-Khusyani
radhiallahu anhu bahwa beliau bersabda:
“Sebab di belakang kalian ada hari-hari (yang kalian wajib) bersabar. Bersabar pada saat itu seperti seseorang yang memegang bara api, dan orang yang beramal pada saat itu pahalanya sebanding dengan lima puluh kali amalan orang yang beramal seperti amalnya.” Abu Tsa’labah bertanya, “Wahai Rasulullah, seperti pahala lima puluh orang dari mereka!” Beliau menjawab, “(Bahkan) seperti pahala lima puluh orang dari kalian.” (HR. Abu Daud no. 3778, At-Tirmizi no. 2984, dan Ibnu Majah no. 4004)
Cintailah jihad dan keutamaannya
0 komentar:
Posting Komentar