Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
Hancurnya dunia lebih ringan di sisi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang muslim.
Hancurnya dunia lebih ringan di sisi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang muslim.
(Shahîh. HR an-Nasâ`i (VII/82), dari ‘Abdullah bin ‘Amr. Diriwayatkan juga
oleh at-Tirmidzi (no. 1395). Hadits ini dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam
Shahîh Sunan an-Nasâ`i dan lihat Ghâyatul- Marâm fî Takhrîj Ahâdîtsil-Halâl
wal-Harâm (no. 439)
Bertakwalah kepada Allah dengan takwa yang sebenar-benarnya, kenalilah
jalan lurus dan menyingkirlah sejauh-jauhnya dari jalan sesat, jalan selain islam. Jalan yang tidak
sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah sekalipun jalan itu memuaskan nafsu dan
melegakan hati kita. Ketahuilah bahwa tidak ada jalan yang benar-benar
memberikan kelegaan pada kita selain petunjuk Allah dan tuntunan Nabi, para
sahabat dan ulama yang mengikuti mereka semuanya. Jalan lurus bukanlah jalan
yang mesti kebanyakan orang menyetujui, bukanlah jalan yang terlihat selalu
indah di mata manusia. Bahkan sedikit sekali yang mengetahui bahwa jalan lurus
itu hanya beberapa gelintir orang yang menapaki.
Ikhwah fillah, sayangilah agamamu, dan buktikan kecintaanmu pada agamamu.
Jangan hanya karena termakan kata toleransi hingga kita salah memaknai apa itu
toleransi. Dan mandul dalam
bertindak, dinina bobokkan olehnya.
Jangan pula hanya karena kita ingin dianggap baik dan berakhlak dihadapan
orang-orang kafir tapi
kita justru menggadaikn aqidah dan iman kita. Terkadang perkataan, pemikiran
dan tindakan kita yang sepele karena keawaman kita menyeret kita kepada jurang
dimana aqidah kita tergadai dan justru bertawali kepada orang kafir.
Jangan hanya karena ingin
dianggap toleran sehingga kita memaksakan diri dan berkasih sayang berlebihan kepada
orang-orang yang mendustakan Allah dan RasulNya. Sedang kita mengetahui bahwa
karakter orang yang mendustakan Allah dan RasulNya tentu saja bukan cerminan
makhluk yang baik dan bisa dipegang janjinya. Juga kita mengetahui bahwa di
dalam dada orang-orang yang mendustakan Allah dan Rasul Nya ada penyakit. Mereka kaum yang jiwanya dipenuhi
najis.
Maka bersikaplah kita semua tetap pada jalur yang sesuai dengan Al-Qur’an
dan Sunnah.
Pahamilah tidak ada ajaran toleransi dalam islam kepada orang kafir, paham
seperti itu hanya dihembuskan cucu-cucu
dari Abdullah bin Ubay bin Salul
gembong munafik di masa Rasulullah beserta titisan-titisannya. Coba dipikirkan dengan baik, betapa
berseberangannya antara Tauhid dan
toleransi. Di dalam agama islam , tauhid
menjadi dasar , mengesakan Allah dan membenci tentang penyekutuanNya. Tapi
dalam paham toleransi, ummat islam dipaksa untuk menghormati siapapun yang
melakukan penyekutuan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah dan RasulNya hanya tidak melarang
bagi kaum muslimin untuk bermuamalah bil husna/berbuat baik kepada orang-orang
kafir yang tidak memerangi dan mengusir
kaum muslimin dari tempat tinggalnya. Dan statusnya ini adalah tidak
mengapa dan tidak melarang. Bukan suatu keharusan.Bukan untuk bertoleransi dan bekerja
sama dalam hal agama.
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (Al-Mumtahanah;8-9)
Jadi batasannnya bermuamalah dengan baik adalah ketika mereka tidak
memerangi dan tidak mengusir dari kampung. Berbuat baik itu tidak harus
memasukkan rasa cinta dan kasih sayang. Karena
justru ini akan bertentangan firman Allah
لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ
أَبْنَاءَهُمْ أَوْ
إِخْوَانَهُمْ أَوْ
عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي
قُلُوبِهِمُ الإيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلا
إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ
الْمُفْلِحُونَ
"Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Meraka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung." (Al Mujadilah ayat 22)
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil
orang-orang kafir menjadi auliya dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang
siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali
karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan
Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah
kembali (mu)” (QS. Al Imran: 28)
Ibnu Abbas radhiallahu’anhu menjelaskan makna ayat ini: “Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang kaum mu’minin untuk menjadikan orang kafir sebagai walijah (orang dekat, orang kepercayaan)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi auliya bagimu; sebahagian mereka adalah auliya bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi auliya, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim” (QS. Al Maidah: 51)
Ibnu Abbas radhiallahu’anhu menjelaskan makna ayat ini: “Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang kaum mu’minin untuk menjadikan orang kafir sebagai walijah (orang dekat, orang kepercayaan)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi auliya bagimu; sebahagian mereka adalah auliya bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi auliya, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim” (QS. Al Maidah: 51)
Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini: “Allah Ta’ala melarang hamba-Nya yang
beriman untuk loyal kepada orang Yahudi dan Nasrani.
Mereka itu musuh Islam dan sekutu-sekutunya. Semoga Allah memerangi mereka.
Lalu Allah mengabarkan bahwa mereka itu adalah auliya terhadap sesamanya. Kemudian
Allah mengancam dan memperingatkan bagi orang mu’min yang melanggar larangan
ini
Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim“” (Tafsir Ibni Katsir, 3/132).
Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim“” (Tafsir Ibni Katsir, 3/132).
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengambil jadi auliya bagimu, orang-orang yang membuat
agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang
telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik).
Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman”
(QS. Al Maidah: 57)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi auliya yang kamu sampaikan kepada mereka
(berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka
telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan
(mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu
benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridaan-Ku
(janganlah kamu berbuat demikian)” (QS. Al Mumtahanah: 1).
Para ulama ahli
tafsir menjelaskan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah kisah Hathib bin Abi
Baltha’ah radhiallahu’anhu. Beliau adalah sahabat Nabi yang ikut hijrah,
beliau juga mengikuti perang Badar, namun beliau memiliki anak-anak, sanak
kerabat dan harta di kota Mekkah yang ia tinggalkan untuk berhijrah. Ketika
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam diperintahkan untuk membuka
kota Mekkah dan memerangi orang Musyrikin di sana, Hathib merasa kasihan kepada
orang-orang Quraisy di Mekkah. Hathib pun berinisiatif untuk berkomunikasi
dengan kaum Quraisy secara diam-diam melalui surat yang dikirimkan melalui
seorang wanita. Hathib mengabarkan kedatangan pasukan kaum Muslimin untuk
menyerang kaum Quraisy di Mekkah. Bukan karena Hathib berkhianat dan bukan
karena ia munafik, namun ia kasihan kepada kaum Quraisy dan berharap mereka mau
dirangkul untuk memeluk Islam daripada mereka hancur binasa. Namun para sahabat
memergoki wanita yang membawa surat dan melaporkan hal ini kepada
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Lalu turunlah ayat ini
sebagai teguran untuk tidak kasihan dan tidak menaruh rasa sayang kepada
orang-orang kafir, apalagi dengan menyampaikan kepada mereka kabar-kabar
rahasia kaum Muslimin. Namun Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam menegur Hathib namun memaafkannya dan memberinya
udzur (lihat Tafsir Ibni Katsir 8/82, Tafsir As Sa’di 7/854)
“Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka
akan mendapat siksaan yang pedih (yaitu) orang-orang yang mengambil
orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang
mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka
sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah” (QS. An Nisa: 139)
Maka yang terang telah menerangi yang gelap.Mana lagi yang tertutupi
sekarang?
Orang-orang yang membangun kerukunan kepada orang kafir dengan memasukkan
rasa kasih sayang hingga berbuat melampaui batas , sebagai contoh memfasilitasi
mereka beribadah, mengucapkan selamat atas hari raya mereka, bahkan mendatangi
rumah –rumah ibadah mereka untuk ikut merayakan , menjaga gereja . Sesungguhnya
orang seperti ini tidaklah sebenar-benarnya mencari ridho Allah, bahkan ia
senyata membuang kitab dan petunjuk Nabi
ke belakang punggung mereka hanya karena ingin mengharap ridho manusia,
ingin dianggap toleran, ingin memposisikan bahwa islam rahmatan lil’aalamiin di
depan mata-mata orang kafir dimana Allah dalam banyak ayat menghinakan mereka dan memjanjikan kepada mereka azab yang
pedih, menghadiahi mereka dengan neraka. Sungguh penafsiran yang salah kaprah dan luar biasa
nyelenehnya tentang toleransi Orang beriman
macam apa, ketika Allah dan RasulNya
menghinakan orang kafir tapi dia malah memuliakan orang kafir yang memerangi.
Sungguh jika orang kafir itu melakukan kedzoliman,memerangi, memperdayai
dan mengusir kaum muslimin dari tempat tinggalnya, maka sambutan yang lebih
layak untuk mereka adalah perang. Dan tidak ada bingkisan lain yang menarik
lagi buat mereka selain kata itu.
Mengherankan jika banyak yang berkomentar untuk tetap bersikap dingin atas
setiap penghinaan dan kedzoliman ulah mereka hanya karena ingin membangun
kerukunan. Dikatakan itu miss, ada yang mengatakan karena speaker,tidak
ketinggalan pula yang mengatakan ini ada konspirasi, ini mencederai
kerukunan.
Pahamilah dengan sepaham-pahamnya bahwa harta dan darah orang kafir itu
terlindungi bila mereka itu tunduk pada aturan islam, sehingga terikat
perjanjian keamanan untuk mereka dan mereka wajib membayar jizyah kepada daulah
islam. Dan mereka akan tetap dibiarkan kepada keyakinannya. Ibadahnya
sembunyi-sembunyi, tidak terang-terangan. Dan
mereka terlarang mensyiarkan agama mereka secara terang-terangan dan hidup mereka terhina.
Maka lihatlah Madinah, mereka bisa hidup berdampingan,harta ,nyawa mereka
di jaga, bisa bermuamalah dengan baik
karena mereka tunduk dan tidak memerangi. Bukanlah kerukunan itu
dibangun di atas toleransi sehingga orang yang beriman kepada Allah dan yang
mendustakannya duduk sama rata, saling berpeluk-pelukan hanya karena
semangat ashobiyah nasionalisme dan
fanatisme secara buta.
Atau semangat kerukunan tanpa dasar sedang di belakang mereka islam dilecehkan.
Sesungguhnya tidak layak orang kafir dan orang beriman duduk sama rata ,
sederajat terlebihnya duduknya bukan karena tuntunan dari islam.
“Katakanlah: Tidak
sama orang yang buruk dengan orang yang baik, meskipun banyaknya yang buruk
menakjubkan kamu”. (Al Maaidah: 100)
“Dan tidaklah sama
orang yang buta dengan yang bisa melihat, tidak pula kegelapan dengan cahaya,
dan tidak sama pula tempat yang teduh dengan yang panas, serta tidak sama
orang-orang yang hidup dengan yang sudah mati”. (Faathir: 19-22)
“Tidaklah sama
penghuni neraka dengan penghuni surga”. (Al Hasyr: 20)
“Maka apakah orang
yang mu’min (sama) seperti orang yang fasiq? (tentu) tidaklah sama…” (As
Sajdah: 18)
Allah Subhaanahu
Wa Ta’ala berfirman:
“Maka apakah Kami
menjadikan orang-orang Islam (sama) seperti orang-orang kafir. Mengapa kamu
(berbuat demikian): Bagaimanakah kamu mengambil keputusan? Atau adakah kamu
memiliki sebuah Kitab (yang diturunkan Allah) yang kamu baca, di dalamnya kamu
benar-benar boleh memilih apa yang kamu sukai untukmu?”. (Al Qalam: 35-38)
Lihatlah di sini secara haqqul yakin , orang kafir tidak terikat perjanjian
keamanan kepada pemerintahan islam, karena tentu saja semua orang akan protes
bila negara ini disebut Negara islam. (Orang yang menegakkan syariat islam saja
diperangi karena bertentangan dengan semangat dan jiwa Pancasila) .Tidak ada
jizyah yang dipungut
berdasar aturan islam, mereka bebas mendzolimi kaum muslimin, mereka
menghinakan agama islam secara terang-terangan. Lalu alasan apa yang logis untuk
tetap menjalin kerukunan kepada mereka yang membakar masjid?
Sungguh membangun kerukunan, tawalli , kepada orang kafir yang jelas-jelas memerangi itu bukan ajaran islam. Maka Anda akan
menyikapi dengn ajaran siapa menyelesaikan masalah yang seperti ini?
Islam sebagai rahmatan lil’aalamiin, ketika hukum-hukum Allah ditegakkan,sehingga semua dalam naungan
pemerintahan islam yang menjalankan syariat islam, baik muslim maupun kafir.
Orang kafir hidup damai dengan membayar jizyah dengan itu dijaga harta dan
darahnya. Maka islam membawa rahmat kedamaian untuk semuanya bila demikian.
Bila tidak,.. tentu saja beda
cerita, beda hukumnya dan cara menyikapinya.
Kami khawatir orang-orang yang melampaui batas dalam kerukunan dan
toleransi sehingga terjebur dalam tawalli, mereka ini menyikapi dingin dan
biasa terhadap pembakaran masjid di Tolikara karena takut terjadi kerusuhan
antara muslim dan kafir. Bisa jadi bila Allah takdirkan hidup di akhir zaman,
orang-orang seperti ini nantinya juga akan memberi jalan tengah dengan berusaha
mendamaikan perang antara Imam Mahdi, Nabi Isa dan Dajjal.Karena alasan
kerukunan. Apa mungkin??
Sudah menjadi Sunatullah bahwa selamanya orang kafir akan benci kepada
islam. Maka yakinilah jika kita memang termasuk orang yang beriman
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu
mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah
petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan
mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi
pelindung dan penolong bagimu.(Al Baqoroh :120)
Bagaimana bisa mereka yang mengaku beriman, mengagungkan Allah dalam tiap
ibadah bahkan menjadi aktivis dakwah, MengEsakanNya, tapi dikesempatan lain memberi kemudahan bagi
makhluk lain untuk menyekutukaNnYA, mengingkari Nya, menyepelekanNya,
menghinakanNya, logiskah??!
Jangan pula karena maslahat dakwah sehingga merancukan apa yang harusnya
diperbuat menjadi terlarang diperbuat.
Ini perkara berbeda. Ada rumusnya sendiri-sendiri dan pada kondisinya
sendiri-sendiri. Jangan karena maslahat dakwah nyawa kaum muslimin melayang
begitu saja. Jangan karena maslahat dakwah , hari ini islam dihinakan biasa,
dicemooh esok tidak apa-apa. Sehingga tidak memiliki ruh sama sekali. Apakah
Allah menyuruhmu untuk mengejar kuantitas, sedang kualitas diabaikan?
Di tempat yang lain
ada yang menyuruh menerima dengan kesabaran begitu saja atas pembakaran masjid,
pelarangan sholat dan jilbab dengan mencatut dalil-dalil sabar. Ketahuilah
wahai saudaraku, bukan pada tempatnya dalil kesabaran itu diperuntukkan kepada
mereka yang melecehkan, menghina islam dan mendzolimi kaum muslimin pada
kondisi dimana terus-terusan kaum muslimin menjadi sasaran kedzoliman. Meskipun
sabar itu pilihan terbaik.
Ingatkah kita atas
peristiwa pengkhianatan Bani Quraizhah di zaman Rasulullah? Ketika itu Sa’ad
bin Muadz menjadi pemberi keputusan atas pengkhianatan Bani Quraizhah.
Bani Quraizhah dikepunglah kota
pertahanan mereka sehingga tidak bisa keluar. Dari hari ke hari dalam kepungan,
semangat mereka buat bertahan kian lemah. Setelah dikepung sampai dua puluh
lima hari, mereka menaikkan bendera putih minta berunding. Permintaan mereka
diterima oleh Rasulullah diterima kedatangan utusan mereka dengan baik dan
ditanyai maksudnya. Utusan itu menjawab bahwa mereka bersedia menyerah tetapi
menurut hukum yang akan ditentukan oleh Sa'ad bin Mu'adz.
Mereka ingat bahwa Sa'ad bin Mu'adz adalah dari kaum Aus yang telah mengikat persahabatan dengan Bani Quraizhah sejak jaman jahiliyah.
Mereka berharap Sa'ad akan mengeluarkan keputusan yang menguntungkan mereka, sebagaimana Abdullah bin Ubayy dahulu mengeluarkan pembelaan yang baik bagi Bani Qainuqa', lalu diterima oleh Nabi.
Ketika mendengar permintaan Bani Quraizhah itu ada beberapa orang Bani Aus membisikkan kepada Sa'ad supaya dia bersikap lunak kepada kaum yang telah dijadikan teman di zaman jahiliyah itu.
Dengan tegas Sa'ad berkata: "Dalam membela agama Allah saya tidak perduli kepada siapapun
".
Kemudian sampailah dia di hadapan Rasulullah. Berkatalah Rasulullah
"Berdirilah kamu semua menghormati pemimpin kalian".
Ibnu Katsiir dalam tafsirnya: “Semua orang pun berdiri menghormati, yang dimaksud oleh Nabi untuk meneguhkan wibawanya sebagai hakim, sehingga kalau dia menjatuhkan suatu hukum kelak diterima dengan penuh kepatuhan."
Setelah dia duduk, bersabdalah Rasulullah. "Sa'ad ! Semua tunduk kepada yang akan engkau putuskan. Sebab itu hukumlah menurut apa yang engkau sukai." .
Lalu Sa'ad menyambut: "Dan hukumku itu kelak berlaku atas mereka?"
Nabi menjawab: "Ya!"
Kata Sa'ad lagi: "Dan dipatuhi juga oleh orang-orang di tempat ini?"
Nabi menjawab: "Ya!"
"Baik", kata Sa'ad, "Sekarang saya putuskan bahwa mereka semua itu yang menyiapkan peperangan ini dibunuh. Perempuan-perempuan dan kanak-kanak yang belum ada bulu di wajahnya dijadikan tawanan dan harta-bendanya dirampas!"
Serta merta Nabi menyambut: "Engkau telah menjatuhkan hukuman sesuai dengan kehendak Allah .
Mereka diangkut ke Madinah semuanya dengan tangan diikat.
Di dekat pasar di Madinah Nabi memerintahkan menggali lubang-lubang. Diiringkan ke lubang itu sekelompok demi sekelompok, di muka lubang, dipancung leher mereka semuanya kemudian di kubur. Ada yang meriwayatkan 400 , ada yang 700 dan 800 orang yang ditebas lehernya.
Mereka ingat bahwa Sa'ad bin Mu'adz adalah dari kaum Aus yang telah mengikat persahabatan dengan Bani Quraizhah sejak jaman jahiliyah.
Mereka berharap Sa'ad akan mengeluarkan keputusan yang menguntungkan mereka, sebagaimana Abdullah bin Ubayy dahulu mengeluarkan pembelaan yang baik bagi Bani Qainuqa', lalu diterima oleh Nabi.
Ketika mendengar permintaan Bani Quraizhah itu ada beberapa orang Bani Aus membisikkan kepada Sa'ad supaya dia bersikap lunak kepada kaum yang telah dijadikan teman di zaman jahiliyah itu.
Dengan tegas Sa'ad berkata: "Dalam membela agama Allah saya tidak perduli kepada siapapun
".
Kemudian sampailah dia di hadapan Rasulullah. Berkatalah Rasulullah
"Berdirilah kamu semua menghormati pemimpin kalian".
Ibnu Katsiir dalam tafsirnya: “Semua orang pun berdiri menghormati, yang dimaksud oleh Nabi untuk meneguhkan wibawanya sebagai hakim, sehingga kalau dia menjatuhkan suatu hukum kelak diterima dengan penuh kepatuhan."
Setelah dia duduk, bersabdalah Rasulullah. "Sa'ad ! Semua tunduk kepada yang akan engkau putuskan. Sebab itu hukumlah menurut apa yang engkau sukai." .
Lalu Sa'ad menyambut: "Dan hukumku itu kelak berlaku atas mereka?"
Nabi menjawab: "Ya!"
Kata Sa'ad lagi: "Dan dipatuhi juga oleh orang-orang di tempat ini?"
Nabi menjawab: "Ya!"
"Baik", kata Sa'ad, "Sekarang saya putuskan bahwa mereka semua itu yang menyiapkan peperangan ini dibunuh. Perempuan-perempuan dan kanak-kanak yang belum ada bulu di wajahnya dijadikan tawanan dan harta-bendanya dirampas!"
Serta merta Nabi menyambut: "Engkau telah menjatuhkan hukuman sesuai dengan kehendak Allah .
Mereka diangkut ke Madinah semuanya dengan tangan diikat.
Di dekat pasar di Madinah Nabi memerintahkan menggali lubang-lubang. Diiringkan ke lubang itu sekelompok demi sekelompok, di muka lubang, dipancung leher mereka semuanya kemudian di kubur. Ada yang meriwayatkan 400 , ada yang 700 dan 800 orang yang ditebas lehernya.
Bukankah ini sejarah
dalam islam?
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia
adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.”
(QS. Al Fath : 29)
Sesungguhnya
kesabaran itu hanyalah untuk sesama saudara seiman.
Dari Jabir bin Abdillah, bahwa Rosululloh SAW berkata,
“Siapa yang mau membereskan Ka‘ab bin Al-Asyrof? Sesungguhnya
dia menyakiti Allah dan Rasul-Nya.” Maka berdirilah Muhammad bin Maslamah, ia
berkata, “Wahai Rosulullah, apakah engkau suka aku membunuhnya?” Beliau
menjawab, “Ya,”
Ka‘ab bin
Al-Asyrof memang biasa memprovokasi orang-orang musyrik untuk memusuhi kaum
muslimin. Ia juga mencela Nabi SAW dengan syairnya dan menggoda isteri-isteri
kaum muslimin.Ibnu Hajar rohimahulloh berkata , “Di dalam Mursal Ikrimah
dikisahkan, pagi harinya kaum yahudi ketakutan, lalu mereka datang kepada
Nabi dan berkata, “Pemuka kami terbunuh
secara diam-diam,” akhirnya Nabi
menceritakan kelakuan Ka‘ab kepada mereka, di mana ia suka memprovokasi
orang untuk menyakiti beliau dan kaum muslimin. Sa‘ad menambahkan, “Maka mereka
menjadi takut dan tidak menjawab sedikit pun.”
Lihatlah, apakah ini buruk, apakah
ini tidak melegakan hatimu?
Seperti diriwayatkan Imam Ahmad
dan lain-lain dari Abdullah bin Unais ia berkata, Rasulullah memanggilku lalu bersabda, “Telah sampai berita kepadaku bahwa Kholid
bin Sufyan Al-Hudzaliy mengumpulkan manusia untuk menggempurku, maka datangilah
dia dan bunuhlah dia.” –di dalam riwayat lain: Rasulullah bersabda, “Siapa yang mau
membunuh Sufyan Al-Hudzaliy untukku? Sesungguhnya ia mengejek, mencela dan
menyakitiku.”—Maka kukatakan, “Wahai Rosululloh, sebutkan ciri orangnya
sehingga aku bisa mengenalinya.” Nabi berkata, “Jika engkau melihatnya,
tubuhnya agak menggigil.” Akhirnya aku berangkat sambil menyandang pedangku,
hingga aku berhasil menemukan orang itu.
Bahkan masih banyak kisah tentang
hal serupa
“Telah
bercerita kepadaku Abdullah bin Harits bin Fudhoil, dari
ayahnya, bahwasanya Ashma’ binti Marwan, seorang wanita dari Bani Umayah bin
Zaid, adalah isteri dari Yazid bin Hishn Al-khuthomiy, ia biasa menyakiti
Nabi dan menghina Islam, serta
memprovokasi orang untuk memusuhi Nabi . Ia pernah berkata, Ia sombong kepada
Bani Malik, Nabit dan AufIa sombong kepada Bani Khozroj Kalian mematuhi pajak dari kaum selain kalian.Maka tidak ada yang mengembalikan dan menariknya .Kalian mengharapnya setelah para pemimpin dibunuh.Sebagaimana berharap jatuhnya buah yang matang.
Ketika Umair
bin Adiy Al-Khuthomiy mendengar kata-kata dan provokasinya, ia berkata, “Ya Allah, aku bernadzar untukmu jika Engkau kembalikan
Rosulullah ke Madinah, aku pasti akan
membunuh wanita itu.”
Ketika itu, Rasulullah sedang berada di Badr. Maka
tatkala beliau pulang dari Badr, Umair bin Adiy pergi di tengah malam hingga
akhirnya ia berhasil masuk ke rumah wanita itu yang ketika itu ia dikelilingi
oleh anak-anaknya yang tengah tidur. Salah satu di antara mereka ada yang
sedang ia susui.
Kemudian
Umair meraba bayi itu dengan tangannya kemudian menjauhkannya dari ibunya,
setelah itu ia hunjamkan pedang di dadanya hingga tembus ke punggungnya.
Setelah itu ia keluar hingga ia masih bisa sholat subuh bersama Nabi . Ketika
Nabi beranjak dari tempat sholatnya, ia
melihat Umair, beliau bersabda, “Apakah kamu telah membunuh puteri Marwan?”
Umair menjawab, “Ya, ayahku kupertaruhkan
untuk engkau wahai Rasulullah.” Umair khawatir Rasulullah kaget dengan pembunuhan itu, maka ia berkata, “Apakah aku harus
menanggung sesuatu akibat peristiwa itu, wahai Rasulullah?” Rasulullah SAW , “Tidak akan ada dua kambing yang menanduknya.” Kata-kata ini
didengar pertama kali dari Rasulullah. Umair berkata, “Setelah itu Nabi menoleh ke
arah orang-orang di sekelilingnya, lalu bersabda, “Jika kalian ingin melihat
orang yang menolong Allah dan Rasul-Nya secara diam-diam, lihatlah kepada Umair
bin Adiy.” Maka Umar bin Khothob berkata, “Lihatlah orang buta ini, ia berjalan
di malam hari dalam rangka mentaati Allah.” Rasulullah bersabda, “Jangan sebut dia buta, sesungguhnya
dia melihat.” Ketika Umair pulang dari tempat Rasulullah, ia menjumpai anak-anak
wanita itu menguburkan ibunya. Begitu melihat Umair datang dari Madinah, mereka
menghampirinya dan mengatakan, “Hai Umair, kamu telah membunuhnya?” Ia berkata,
“Ya, kalau kalian semua mau mencelakakan aku silahkan lakukan dan tidak usah
kalian tunda-tunda. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya kalian
mengatakan seperti apa yang dikatakan ibu kalian, aku akan penggal kalian semua
dengan pedangku ini, sampai aku mati atau aku berhasil membunuh kalian.” Sejak
saat itu, Islam mengalami kemenangan di kalangan Bani Khuthmah.
Begitulah lumrahnya apa yang harus
dilakukan kepada seorang yang mengaku cinta islam terhadap mereka yang berani
melecehkan islam.
Ingatkah pula kita tentang kisah
perang terhadap Bani Qainuqa hanya karena masalah jilbab/cadar? Apakah ini
sesuatu yang tercela wahai saudaraku?
Maka Allahlah yang memberikan hidayah, pendakwah hanya penyampai bukan
penentu sehingga mengabaikan apa yang seharunya dilakukan.
“Telah diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi, karena
sesungguhnya mereka dizalimi. Dan, sungguh Allah Maha-Kuasa menolong mereka
itu, (yaitu) orang-orang yang diusir dari kampung halamannya tanpa alasan yang
benar, hanya karena mereka berkata, “Rabb kami hanyalah ALLAH…!” (QS al-Hajj: 39-42)
Maka tidak terlarang
. tidaklah tercela membalas perbuatan orang orang kafir itu.
Berdasarkan firman Alloh :
“Jika mereka meyerangmu, maka seranglah mereka sebagaimana mereka menyerang
kalian.” (QS. Al-Baqoroh : 194)
Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi
Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi
orang-orang yang sabar. (126) Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah
kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih
hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa
yang mereka tipu dayakan. (127) Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang
bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. An-Nahl: 126-128)
Imam Ibnu Muflih Al-Hambali dalam kitab Al-Furu’ 6/218 mengutip perkataan
syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
“ Perbuatan mencincang menjadi hak mereka. Mereka boleh melakukannya untuk menuntut hak dan balasan setimpal. Mereka juga boleh tidak melakukannya, dan bersabar (dengan tidak balas mencincang) itu lebih utama. Hal ini jika perbuatan mencincang tidak membawa nilai tambah bagi jihad, atau tidak membuat mereka (musuh) jera dari melakukan tindakan serupa (mencincang kaum muslimin). Namun jika perbuatan mencincang yang menyebar (banyak dilakukan) justru lebih mengajak mereka untuk beriman atau mencegah mereka untuk mengadakan permusuhan (terhadap kaum muslimin), maka perbuatan mencincang termasuk dalam ktegori penegakan hudud dan jihad yang disyari’atkan.”
“ Perbuatan mencincang menjadi hak mereka. Mereka boleh melakukannya untuk menuntut hak dan balasan setimpal. Mereka juga boleh tidak melakukannya, dan bersabar (dengan tidak balas mencincang) itu lebih utama. Hal ini jika perbuatan mencincang tidak membawa nilai tambah bagi jihad, atau tidak membuat mereka (musuh) jera dari melakukan tindakan serupa (mencincang kaum muslimin). Namun jika perbuatan mencincang yang menyebar (banyak dilakukan) justru lebih mengajak mereka untuk beriman atau mencegah mereka untuk mengadakan permusuhan (terhadap kaum muslimin), maka perbuatan mencincang termasuk dalam ktegori penegakan hudud dan jihad yang disyari’atkan.”
Ibnu Qoyyim mengatakan dalam Hasyiyah-nya 12/180 :
“Allah telah memperbolehkan kaum muslimin untuk mencincang orang-orang kafir, jika mereka mencincang kaum muslimin, meskipun (hukum asal) mencincang itu dilarang.. Alloh berfitman," Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu." Ayat ini menjadi dalil bahwa memotong hidung dan telinga, membelah perut dan hal-hal yang semacam itu adalah balasan setimpal, bukan perbuatan melampaui batas, dan balasan setimpal adalah sebuah keadilan. Adapun (hukum asal) larangan mencincang adalah berlandaskan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari hadits Samuroh bin Jundab dan Imron bin Hushain, ia berkata:
” Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam tidak
berkhotbah kepada kami kecuali pasti memerintahkan kami untuk bersedekah dan
melarang kami mencincang.”
Jika ditanyakan," Jika ia tidak mati bila dibalas sesuai dengan apa yang ia kerjakan, maka berarti kalian membunuhnya, dan itu berarti menambah atas apa yang ia lakukan. Kalau begitu, di mana letak pembalasan yang semisal itu ?"
Dijawab, ini terbantahkan (tergugurkan) dengan dibunuh dengan pedang. Jika ia memukul (menebas) leher seseorang dengan pedang namun tidak sampai mati (sekedar luka parah, pent), maka kita boleh menebas lehernya untuk kali kedua atau ketiga sampai ia mati, berdasar kesepakatan ulama, sekalipun si pelaku hanya memukul korbannya sekali saja.
Hal ini dianggap sebagai pembalasan setimpal, dengan dua cara.
Pertama : menganggap (hukum) sesuatu dengan hal yang serupa atau sama
sepertinya. Ini adalah qiyas 'ilah, di mana sesuatu digabungkan dengan hal yang
serupa atau semisal dengannya.
Kedua : Qiyas dilalah, yaitu menggabungkan (hukum) masalah pokok dan
masalah cabang dengan dalil 'ilah dan lazim(sebab)nya.
Jika salah satu dari kedua cara ini ditambah dengan keumuman lafal (nash ayat atau hadits, pent), maka ia termasuk dalil yang paling kuat karena berkumpulnya dua keumuman ; keumuman lafal dan keumuman makna; dan bersatunya dua dalil ; dalil sam'i (nash Al-Qur'an atau as sunah) dan dalil i'tibari (qiyas, ijtihad).
Maka, alasan yang mewajibkan dari Al-Qur'an, al-mizan (keadilan) dan qisash
dalam masalah kita ini termasuk dalam bab ini (bertemunya dua keumuman dan dua
dalil, pent),
Firman Alloh :
“ Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyirikin di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian.”
(At-Taubah: 5).
“ Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyirikin di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian.”
(At-Taubah: 5).
Imam Ibnu Qoyyim meringkasnya dalam perkataan beliau :
“ Jihad itu awalnya diharamkan, lalu diijinkan, lalu diperintahkan melawan orang yang menyerang terlebih dahulu, lalu diperintahkan untuk memerangi seluruh orang-orang musyrik.”
Ibnu Qoyyim berkata,“ Maka keadaan orang kafir setelah turun surat At-Taubah ditetapkan menjadi tiga kelompok, yaitu Muharibin, Ahlu ‘Ahdin dan Ahlu Dzimmah. Ahlul ‘Ahdi wash Shulhi (dianggap) tergabung ke dalam negara Islam, maka orang kafir tinggal dua macam saja yaitu Muharibin dan Ahludz Dzimmah.”
Ketika menafsirkan firman Alloh Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu..”(At-Taubah: 5),
imam Ibnul ‘Arobi berkata,“ Ayat ini menasakh seratus empat belas ayat.”
Imam Ibnu Athiyah berkata tentang ayat saif :
“ Ayat ini menaskh seluruh ayat Al Qur’an yang memerintahkan perjanjian damai dan hal yang semakna dengannya, yang menurut para ulama berjumlah 114 ayat.”
Imam Ath Thabari mengatakan tentang QS. Al Baqarah :109 :
“ Allah Ta’ala menaskh perintah memaafkan dan membiarkan dengan mewajibkan mereka memerangi orang-orang musyrik sampai kalimat (dien) mereka dan kalimat (dien) kaum muslimin satu atau mereka membayar jizyah dalam keadaan hina.” Beliau kemudian menyebutkan bahwa perkataan Ibnu Abbas, Qatadah, dan Rabi’ bin Anas yang menunjukkan ayat saif telah menaskh ayat-ayat yang memerintahkan untuk memaafkan."
Imam Al Qurthubi mengatakan tentang QS. Al Baqarah ;109 :
“ Ayat ini telah dinaskh oleh ayat “ Perangilah orang-orang yang tidak beriman..dalam keadaan hina.” [QS. At Taubah :28].
Inilah pendapat Ibnu Abbas. Ada juga yang berpendapat bahwa yang menaskh
adalah firman Allah,” Maka bunuhlah orang-orang musyrik.” [QS. At Taubah
:5].
Tentang firman Allah QٍS. At Taubah 73 :
“ Wahai nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan munafik dan perlakuan mereka secara keras (tegas).” Imam Al Qurthubi mengatakan :
“ Ayat ini menaskh setiap ayat yang memerintahkan untuk memaafkan dan membiarkan.”
Begitu juga dengan imam Ibnu Katsir. Setelah menyebutkan pendapat Ibnu Abbas yang menyatakan ayat saif telah menaskh seluruh ayat yang memerintahkan bersabar dan tidak melawan, beliau berkata :
“ Demikian juga pendapat imam Abu Aliyah, Rabi’ bin Anas, Qatadah dan As Sudi bahwa ayat-ayat memaafkan telah dinaskh oleh ayat saif. Hal ini juga ditunjukkan oleh ayat,” Sampai datangnya perintah Allah.”
Imam Ibnu Hazm juga mengatakan :
“ Larangan berperang telah dinaskh oleh perintah yang mewajibkan perang.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan ;
“ Perintah Allah kepada mereka untuk berperang merupakan naskh atas perintah-Nya untuk menahan tangan mereka.”
Tentang QS. Ali Imran ayat 186, beliau berkata ;
“ Ayat ini dan ayat-ayat serupa telah dinaskh dari berbagai alasan.”
Imam As Suyuthi di dalam kitabnya Al-Iklil fis Timbatit Tanziil dan At-Tahbir Fii ‘ilmit Tafsiir juga menyatakan ayatus saif telah menasakh ayat-ayat yang memerintahkan untuk memaafkan, berlapang dada dan berdamai. Ketika menerangkan QS. At Taubah :5 “…maka bunuhlah orang-orang musyrik di mana saja kalian jumpai mereka.” beliau berkata:
” Ayat ini adalah ayatus saif yang telah menasakh ayat-ayat yang berkenaan dengan memberikan maaf, berlapang dada, berpaling dan berdamai. Berdasar keumuman ayat ini, mayoritas ulama berpendapat untuk memerangi bangsa Turki dan Habasyah.”
Para ulama salafu sholih yang menyatakan bahwa ayat saif telah menasakh (menghapus seluruh fase ayat-ayat jihad sebelumnya) adalah :
- Imam Adh-Dhohak bin Muzahim (Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’anul Adzim 4/134),
- Imam Ar-Robi’ bin Anas (Al-Baghowi, Ma’alimu Tanzil 2/269, Multan, Idaarotu Ta’lifat Asyrafiyah, tahqiq ; Marwan Suwar dan Khalid Abdurahman Al ‘Ak),
- Imam Mujahid dan Abul ‘Aliyah (Asy-Syaukani, Fathul Qodir 1/162, Beirut, Daarul Kutub Al Ilmiyah, cet 1:1415 /1994),
- Imam Al-Hasan ibnul Fadl (Al-Qurthubi, Al Jami’u li Ahkamil Qur’an 13/73, Al Baghawi 2/269),
- Imam Ibnu Zaid (Al-Qurthubi, 2/339),
- Imam Musa bin ‘Uqbah, Ibnu ‘Abbas, Al-Hasan, ‘Ikrimah, dan Qotadah (Asy Syaukani, Fathul Qodir I/497, Mahmud Al Alusi, Ruuhul Ma’ani Fi tafsiri Al Qur’anil Adzim wa Sab’il Matsani 1/357, Beirut, Daarul Fikr, 1408 /1987),
- Imam Ibnul Jauzi dan ‘Atho’ (Al-Baghowi 3/122).
Pendapat ini juga dikatakan oleh ;
- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Ibnu Taimyah, Al-Ihtijaj bil Qodar hal. 36),
- Imam Asy-Syaukani (Fathul Qodir 1/162),
- Imam Al-Qurthubi (Tafsir Al-Qurthubi 2/331),
- Imam As Suyuthi (Ad Durul Mantsur fi Tafsir Al Ma’tsur 1/262, Beirut, Daarul Fikr, 1993/1414), dan para ulama’ dari berbagai masa.
Beberapa ulama’ salaf sholih bahkan telah menyatakan adanya ijma’ (kesepakatan seluruh ulama mujtahidin) tentang mansukh (telah dihapusnya) hukum-hukum jihad sebelum hukum yang terakhir.
Imam Al Jashash mengatakan tentang QS. An Nisa’ 90:
“ Kami tidak mengetahui ada seorang ulamapun yang melarang memerangi orang-orang kafir yang tidak memerangi kita. Justru yang diperselisihkan adalah boleh tidaknya tidak memerangi mereka, bukan larangan memerangi mereka. Karena telah menjadi kesepakatan semua ulama tentang dinaskhnya larangan memerangi orang kafir yang keadaannya seperti kami sebutkan tadi.”
Imam Shodiq Hasan Khan Al-Bukhori mengatakan :
“ Adapun riwayat tentang berdamai dan membiarkan (tidak memerangi)
orang-orang kafir apabila mereka tidak memerangi (kaum muslimin), maka hal itu
telah mansukh berdasar kesepakatan seluruh kaum muslimin.”
Syaikhul mufasirin imam Ibnu Jarir ketika menafsirkan QS. Al Jatsiyah 14, berkata :
” Ayat ini telah mansukh dengan perintah Alloh untuk memerangi orang-orang musyrik, sesuai dengan ijma’ ulama takwil (mufasirin) atas hal itu.”
Imam Asy-Syaukani mengatakan :
Syaikhul mufasirin imam Ibnu Jarir ketika menafsirkan QS. Al Jatsiyah 14, berkata :
” Ayat ini telah mansukh dengan perintah Alloh untuk memerangi orang-orang musyrik, sesuai dengan ijma’ ulama takwil (mufasirin) atas hal itu.”
Imam Asy-Syaukani mengatakan :
” Menyerang orang-orang kafir dan ahli kitab serta membawa mereka (untuk memilih salah satu dari tiga pilihan, pent) : masuk kepada agama Islam, atau membayar jizyah atau bunuh (perang), merupakan al-ma'lum min ad-dien bi-dharurah (perkara yang sangat jelas dalam agama, diketahui oleh orang awam maupun ulama) … dalil yang menyebutkan meninggalkan dan membiarkan mereka jika mereka tidak memerangi, sudah mansukh berdasar ijma’ kaum muslimin dengan dalil yang mewajibakn memerangi mereka apapun kondisinya selama memiliki kemampuan dan sanggup memerangi mereka di negeri mereka.”
Maka memerangi orang
kafir yang membakar masjid, melarang sholat dan jilbab bukanlah tidankan orang
terprovokasi, bukan lah tindakan buruk. Bahkan inilah cara menjaga kemuliaan
islam. Bila ada yang berbicara kerukunan dan toleransi, maka biarkan ia
berbicara sesuai agama nasionalisme yang dia yakini.
0 komentar:
Posting Komentar